Selasa, 23 Desember 2008

jaringan ekologis

Pembangunan yang berkelanjutan adalah tuntunan strategis yang yang luas diterima dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan suatu lahan pada masa depan (IUCN, 1992). Tetapi, keseimbangan ekologis belum berkembang dengan baik dalam tahap perencanaan lanskap.
Pengembangan lanskap yang berkelanjutan memerlukan perencanaan lanskap yang mengarah pada “Kondisi kestabilan sistem fisik dan sosial yang dicapai dengan memenuhi seluruh kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan hak generasi selanjutnya untuk memenuhi kebutuhannya di masa depan” (World Commission on Environment and Development, 1987; Ahern, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa pada pengambilan keputusan mengenai lanskap masa depan, keseimbangan dicapai diantara fungsi ekologis, kultural, dan ekonomi (Linehan dan Gross, 1998), sehingga sumber daya yang vital bagi generasi yang akan datang tidak akan habis dan rusak. Dengan memperhatikan keanekaragaman spesies, terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi untuk mewujudkan lanskap yang berkelanjutan. Pertama, pola spasial lanskap harus menunjang proses ekologis, yang dibutuhkan agar populasi adaptatif, hal ini berkaitan dengan target keanekaragaman hayati dan faktor skala spasial yang secara ekologis relevan dengan target. Kedua, perubahan yang diasosiasikan dengan pengembangan lanskap pada pola spasialnya, tidak mengarah pada kemungkinan jangka panjang terjadinya penurunan target populasi, hingga level terendah yang tidak dapat ditoleransikan. Dengan kembali memperhatikan keanekaragaman spesies, pengembangan lanskap yang berkelanjutan harus memenuhi dua kondisi ini.
Jaringan ekologis sebagai kesatuan sebuah ekosistem yang berhubungan menjadi sistem spasial yang erat melalui fluktuasi organisme, dan berinteraksi dengan matriks lanskap yang saling berkaitan. Jaringan ekologis merupakan konsep multi-spesies, menghubungkan antar ekosistem, seperti istilah jaringan habitat. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi pada empat fitur fisik jaringan ekologis : total area jaringan, kualitas, kepadatan jaringan, dan permeabilitas matrik.







Gambar di atas menjelaskan jaringan ekologis mungkin ekologi yang tidak berkelanjutan di tingkatan yang lokal, tetapi berkelanjutan pada tingkat regional (jaringan). Hal ini dilukiskan oleh ketidakhadiran dari suatu jenis di dua lokasi yang lokal dari suatu jaringan yang mencakup lima lokasi. Dua dari ini adalah pantas, tetapi telah ditinggalkan untuk beberapa alasan yang lokal. Populasi yang lokal di ketiga lokasi yang diduduki membentuk suatu jaringan dari populasi. Tanda panah menunjukkan peristiwa kolonisasi kembali dari lokasi yang diduduki. Karenanya, resiko lokal tersebar di atas keseluruhan jaringan lanskap. Jika kolonisasi kembali seperti itu adalah cukup sering di dalam perbandingan pemunahan yang lokal, kemudian populasi jaringan di ekosistem jaringan dapat gigih.
Jalur Hijau (Greenways) merupakan salah satu bentuk jaringan ekologis. Jalur hijau memiliki struktur lanskap yang berbentuk linear dan multifungsi, termasuk konservasi natural, estetik, rekreasi, dan tujuan kultural, tetapi secara eksklusif mengandung elemen linear. Fitur utama dari jalur hijau adalah jaringan ini dapat memiliki konfigurasi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi pada empat fitur fisik jaringan ekologis : total area jaringan, kualitas, kepadatan jaringan, dan permeabilitas matrik.
Disain lanskap yang berkelanjutan, yang dikemukakan oleh minat konservasi, sering mengabaikan bentuk-bentuk yang sesuai tentang pengembangan lanskap dengan fleksibilitas lanskap yang diperlukan oleh perusahaan ekonomi. Sebagai solusi, dibedakan lambat dan cepat pergerakkan siklus yang sesuai dengan pertumbuhan, akumulasi, restrukturisasi dan pembaharuan. Jika ditinjau dari keanekaragaman jenis, jaringan ekologis adalah suatu struktur ruang yang mengakomodasi dimensi yang yang tidak dapat dipisahkan dari pengembangan lanskap secara berkelanjutan. Di dalam jaringan ekologis, manusia dapat menciptakan suatu struktur, yang dapat mengubah waktu tanpa kehilangan potensi konservasi untuk target populasi. Penjelasan yang ditemukan adalah kohesi ruang di alam, suatu ukuran yang dipersatukan untuk potensi konservasi dari suatu jaringan ekologis (Opdam et al., 2003). Karena suatu populasi, kohesi area perencanaan tersebut perlu melebihi suatu ambang batas minimum tertentu.






Pengembangan lanskap yang berkelanjutan membutuhkan proses pengambilan keputusan yang ‘kontinu’ mengenai perubahan lanskap, dalam hal keseimbangan ekologi , sosial, dan ekonomi. Hal tersebut memungkinkan terciptanya adaptasi lanskap yang terkontrol untuk kepentingan sosial di masa yang akan datang dan keperluan dalam hal proses pengambilan keputusan dari seluruh pihak mengenai keberlangsungan biodiversitas. Oleh karena itu, proses perencanaan diharapkan menjadi acuan bagi berbagai pihak dalam menentukan keputusan mengenai penentuan prioritas tipe ekosistem dan spesies yang menjadi target kajian, dan juga dalam penentuan kebutuhan aspek fisik (meliputi kecukupan ruang dan keterkaitannya antar ruang).
Dalam studi Chesire (Van Rooji et al., 2003a), dikembangkan kerangka acuan kerja yang berbasis ekologi, dimana hasil keputusannya untuk tujuan yang dapat dicapai terkait dengan pengembangan yang dapat dicapai berdasarkan potensinya dalam jejaring ekologi regional. Basis pendekatannya adalah sebuah sistem yang disebut ”ecoprofiles”, yang memiliki matriks 3 dimensi, yaitu jarak yang memisahkan, kebutuhan ruang dan tipe kosistem. Sel dalam matriks tersebutlah yang disebut ”ecoprofiles”. Bila pelaku (actor) merasa tidak puas terhadap target ”ecoprofiles” (contohnya, karena spesies yang populer tidak berada di dalamnya), mereka dapat mencoba meningkatkan tingkat ambisi dari rencana tersebut dengan cara mencari keuntungan ekonomi lebih atau dukungan pihak lokal (negosiasi).

Tidak ada komentar: