Selasa, 23 Desember 2008

traffic jam

TRAFFIC JAM TERITORIALITY OF DARMAGA-LALADON
(Batasan Kemacetan Trayek Kampus IPB Darmaga-Terminal Laladon)

Deskripsi Analisis
Kemacetan (traffic jam) merupakan hal yang tidak asing lagi bagi penduduk bogor, khususnya daerah Terminal Laladon yang menuju Kampus IPB Darmaga dan sebaliknya. Hal ini dialami oleh seluruh kalangan masyarakat yang bertindak sebagai pengguna jalur tersebut, baik dosen, mahasiswa, siswa, supir angkot, karyawan, maupun penduduk pribumi.
Pada kenyataannya, kemacetan disebabkan oleh banyaknya jalur pertigaan/persimpangan. Tercatat, terdapat lima jalur yang mempunyai persimpangan di sepanjang jalan Terminal Laladon-Kampus IPB Darmaga. Diantara lima persimpangan tersebut, terdapat empat persimpangan yang menjadi sumber kemacetan, yaitu: persimpangan menuju Bara (Babakan Raya), persimpangan menuju Cibeureum, persimpangan menuju Terminal Bubulak, dan persimpangan menuju Terminal Laladon. Ironisnya, pembangunan jalur baru (persimpangan menuju Terminal Bubulak) justru menimbulkan dampak kemacetan yang lebih ‘hebat’. Selain itu, ‘meledaknya’ jumlah kendaraan bermotor, khususnya angkot juga menjadi penyebab terjadinya kemacetan. Dilain sisi, jumlah angkot (kendaraan bermotor) yang beroperasi berbanding terbalik dengan lebar jalan. Dan hal yang juga harus dipertimbangkan ialah tingkat egoisme dari para pengendara.
Hal ini wajar terjadi mengingat Kota Bogor merupakan daerah sub-urban dari Jakarta. Hal ini berimplikasi terhadap perencanaan Kota Bogor yang tidak terintegrasi secara komprehensif. Hal ini juga terjadi karena perencanaan Kota Bogor yang berbasis proyek (project to project).
Berdasarkan ilustrasi (lembar 2), terdapat dua zona dalam kemacetan, yaitu: zona sumber kemacetan dan zona bebas macet. Kedua zona saling terkait. Anehnya, penempatan kedua zona tersebut berdampingan. Situasi ini disebabkan karena kemacetan terjadi pada daerah persimpangan, dan setelah melewati daerah tersebut, tingkat kemacetan dapat direduksi. Akan tetapi, pada waktu tertentu zona bebas pun menjai tidak berfungsi (useless), waktu tersebut ialah pada pukul 07.00-08.00 (aktivitas pergi ke kampus IPB, sekolah, kantor, perusahaan) dan pukul 17.00-19.00 (aktivitas pulang).

jaringan ekologis

Pembangunan yang berkelanjutan adalah tuntunan strategis yang yang luas diterima dalam pengambilan keputusan mengenai penggunaan suatu lahan pada masa depan (IUCN, 1992). Tetapi, keseimbangan ekologis belum berkembang dengan baik dalam tahap perencanaan lanskap.
Pengembangan lanskap yang berkelanjutan memerlukan perencanaan lanskap yang mengarah pada “Kondisi kestabilan sistem fisik dan sosial yang dicapai dengan memenuhi seluruh kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan hak generasi selanjutnya untuk memenuhi kebutuhannya di masa depan” (World Commission on Environment and Development, 1987; Ahern, 2002). Hal ini mengindikasikan bahwa pada pengambilan keputusan mengenai lanskap masa depan, keseimbangan dicapai diantara fungsi ekologis, kultural, dan ekonomi (Linehan dan Gross, 1998), sehingga sumber daya yang vital bagi generasi yang akan datang tidak akan habis dan rusak. Dengan memperhatikan keanekaragaman spesies, terdapat dua kondisi yang harus dipenuhi untuk mewujudkan lanskap yang berkelanjutan. Pertama, pola spasial lanskap harus menunjang proses ekologis, yang dibutuhkan agar populasi adaptatif, hal ini berkaitan dengan target keanekaragaman hayati dan faktor skala spasial yang secara ekologis relevan dengan target. Kedua, perubahan yang diasosiasikan dengan pengembangan lanskap pada pola spasialnya, tidak mengarah pada kemungkinan jangka panjang terjadinya penurunan target populasi, hingga level terendah yang tidak dapat ditoleransikan. Dengan kembali memperhatikan keanekaragaman spesies, pengembangan lanskap yang berkelanjutan harus memenuhi dua kondisi ini.
Jaringan ekologis sebagai kesatuan sebuah ekosistem yang berhubungan menjadi sistem spasial yang erat melalui fluktuasi organisme, dan berinteraksi dengan matriks lanskap yang saling berkaitan. Jaringan ekologis merupakan konsep multi-spesies, menghubungkan antar ekosistem, seperti istilah jaringan habitat. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi pada empat fitur fisik jaringan ekologis : total area jaringan, kualitas, kepadatan jaringan, dan permeabilitas matrik.







Gambar di atas menjelaskan jaringan ekologis mungkin ekologi yang tidak berkelanjutan di tingkatan yang lokal, tetapi berkelanjutan pada tingkat regional (jaringan). Hal ini dilukiskan oleh ketidakhadiran dari suatu jenis di dua lokasi yang lokal dari suatu jaringan yang mencakup lima lokasi. Dua dari ini adalah pantas, tetapi telah ditinggalkan untuk beberapa alasan yang lokal. Populasi yang lokal di ketiga lokasi yang diduduki membentuk suatu jaringan dari populasi. Tanda panah menunjukkan peristiwa kolonisasi kembali dari lokasi yang diduduki. Karenanya, resiko lokal tersebar di atas keseluruhan jaringan lanskap. Jika kolonisasi kembali seperti itu adalah cukup sering di dalam perbandingan pemunahan yang lokal, kemudian populasi jaringan di ekosistem jaringan dapat gigih.
Jalur Hijau (Greenways) merupakan salah satu bentuk jaringan ekologis. Jalur hijau memiliki struktur lanskap yang berbentuk linear dan multifungsi, termasuk konservasi natural, estetik, rekreasi, dan tujuan kultural, tetapi secara eksklusif mengandung elemen linear. Fitur utama dari jalur hijau adalah jaringan ini dapat memiliki konfigurasi yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama. Hal ini diakibatkan oleh adanya variasi pada empat fitur fisik jaringan ekologis : total area jaringan, kualitas, kepadatan jaringan, dan permeabilitas matrik.
Disain lanskap yang berkelanjutan, yang dikemukakan oleh minat konservasi, sering mengabaikan bentuk-bentuk yang sesuai tentang pengembangan lanskap dengan fleksibilitas lanskap yang diperlukan oleh perusahaan ekonomi. Sebagai solusi, dibedakan lambat dan cepat pergerakkan siklus yang sesuai dengan pertumbuhan, akumulasi, restrukturisasi dan pembaharuan. Jika ditinjau dari keanekaragaman jenis, jaringan ekologis adalah suatu struktur ruang yang mengakomodasi dimensi yang yang tidak dapat dipisahkan dari pengembangan lanskap secara berkelanjutan. Di dalam jaringan ekologis, manusia dapat menciptakan suatu struktur, yang dapat mengubah waktu tanpa kehilangan potensi konservasi untuk target populasi. Penjelasan yang ditemukan adalah kohesi ruang di alam, suatu ukuran yang dipersatukan untuk potensi konservasi dari suatu jaringan ekologis (Opdam et al., 2003). Karena suatu populasi, kohesi area perencanaan tersebut perlu melebihi suatu ambang batas minimum tertentu.






Pengembangan lanskap yang berkelanjutan membutuhkan proses pengambilan keputusan yang ‘kontinu’ mengenai perubahan lanskap, dalam hal keseimbangan ekologi , sosial, dan ekonomi. Hal tersebut memungkinkan terciptanya adaptasi lanskap yang terkontrol untuk kepentingan sosial di masa yang akan datang dan keperluan dalam hal proses pengambilan keputusan dari seluruh pihak mengenai keberlangsungan biodiversitas. Oleh karena itu, proses perencanaan diharapkan menjadi acuan bagi berbagai pihak dalam menentukan keputusan mengenai penentuan prioritas tipe ekosistem dan spesies yang menjadi target kajian, dan juga dalam penentuan kebutuhan aspek fisik (meliputi kecukupan ruang dan keterkaitannya antar ruang).
Dalam studi Chesire (Van Rooji et al., 2003a), dikembangkan kerangka acuan kerja yang berbasis ekologi, dimana hasil keputusannya untuk tujuan yang dapat dicapai terkait dengan pengembangan yang dapat dicapai berdasarkan potensinya dalam jejaring ekologi regional. Basis pendekatannya adalah sebuah sistem yang disebut ”ecoprofiles”, yang memiliki matriks 3 dimensi, yaitu jarak yang memisahkan, kebutuhan ruang dan tipe kosistem. Sel dalam matriks tersebutlah yang disebut ”ecoprofiles”. Bila pelaku (actor) merasa tidak puas terhadap target ”ecoprofiles” (contohnya, karena spesies yang populer tidak berada di dalamnya), mereka dapat mencoba meningkatkan tingkat ambisi dari rencana tersebut dengan cara mencari keuntungan ekonomi lebih atau dukungan pihak lokal (negosiasi).